Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto memang menjadi salah satu pemimpin yang mempunyai segudang prestasi
maupun kontroversi, banyak para pengamat politik maupun sejarawan yang melihat
bahwa semasa Indonesia di bawah Soeharto sebenarnya ada salah satu elemen yang
mentasbihkan kekuasaanya selain miliiter, yaitu Golongan Karya.
Golongan Karya bagi sebagian
tokoh-tokoh Golkar bukan merupakan sebuah partai politik. Namun, benarkah Golkar
bukan merupakan sebuah partai politik? Kalau memang benar Golkar bukan sebuah
partai politik, mengapa Golkar bertarung dalam sebuah pemilu untuk merebut
sebuah kekuasaan untuk duduk di pemerintahan dan menanamkan hegemoninya?
Menurut Lijphart (2000: 731) “partai
politik diartikan sebagai suatu organisasi yang berusaha memenangkan jabatan publik
dalam suatu persaingan di daerah pemilihan dengan satu atau lebih organisasi
serupa” (Supardan, 2007: 506). Lebih jauh Eep Saefulloh Fatah (2000: 192)
mengungkapkan bahwa Golkar memiliki alasan yang kuat untuk menjadi sebuah
partai politik, kriteria tersebut antara lain:
1)
Merupakan kumpulan
individu
2)
Merupakan perkumpulan
yang terorganisasi dengan definisi mengenai posisi, fungsi dan hierarki anggota
yang jelas dan baku
3)
Ada ikatan identitas
yang sama diantara anggotanya baik berupa ideologi maupun kepentingan
4)
Memiliki tujuan
memperoleh kekuasaan politik dalam pemerintahan
5)
Ikut serta dalam pemilu
untuk mencapai tujuannya.
Sudah jelas bahwasannya Golongan Karya
merupakan sebuah partai politik walaupun hal tersebut selalu diklaim oleh tokoh
Golkar bahwa mereka tidak setuju bahwa Golkar partai politik. Walaupun begitu, Golkar
sudah mulai menanamkan hegemoni kepartaian pada setiap partisipannya. Hegemoni Golkar
sudah mulai ketika pemilihan umum 1971, dimana pada saat itu Soeharto dengan
pemerintahan Orde Barunya yang dikenal dengan Orde Pembangunan ingin menata
dengan tujuan pembangunan dalam kerangka stabilisasi politik dan stabilisasi
ekonomi, artinya ketika Soeharto ingin menstabilkan kehidupan berpolitik hal
pertama yang Soeharto dan Golkar lakukan ialah mengecilkan kekuatan partai
politik lainnya, pada oktober 1966 Orde Baru merehabilitasi Partai Murba, dan
didirikannya Partai Muslim Indonesia (Parmusi) pada 20 Februari 1968,
selanjutnya ialah melemahkan partai dengan program fusi dimana PNI, Partai
Katolik, Parkindo, IPKI dan Murba difusikan menjadi satu partai, yaitu Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) pada 9 maret 1970. Sementara Parmusi, NU, PSII dan Perti
difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 13 Maret 1970. Dengan
program fusi untuk menjalankan rencana strategis yaitu mengamankan kekuasaan,
maka secara tidak langsung Golkar telah menjalankan sebuah model manajemen
politik - khusunya manjemen konflik politik, yaitu yang awalnya dilakukan
pengkondisian kerja sama antarpartai, kemudian konfederasi, dan baru setelah
itu fusi.
Puncak dari legitimasi yang dibangun
golongan karya ialah ketika pemilu 1971, dimana Golkar meraih kesuksesan yang
luar biasa, kemenangan ini dipengaruhi juga dengan dikeluarkannya UU No. 6
Tahun 1970 pada Februari 1970 Undang-Undang ini memiliki implikasi sangat besar
karena para pegawai negeri harus menunjukkan loyalitasnya dengan menyalurkan
aspirasi mereka melalui Golkar. Untuk menguatkan pengaruh Golkar, pemerintah
dengan Soeharto sebagai motor penggerak Golkar mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1975
tentang pembatasan gerakan partai politik non-Golkar hanya sampai tingkat
kecamatan.
Pertarungan Golkar untuk memperoleh
hegemoni terbukti pada pemilu 1971 dimana Golkar memperoleh 62,8 suara, memenangkan 236
(65,6%) dari 360 kursi yang diperebutkan. PNI (6,9%), NU (18,7%) dengan
komposisi tersebut maka secara otomatis negara dalam hegemoni Golongan Karya
(Ricklefs, 2008: 585-586). Ada beberapa kondisi yang diciptakan untuk
menanamkan hegemoni Golongan Karya yang dikomandoi Soeharto sebagai presiden,
yaitu:
1)
Peran sosial politik
militer dilegalisasi dengan kekuasaan yang besar untuk menjamin terciptanya
stabilitas,
2)
Dilakukannya
depolitisasi massa dengan alasan agar seluruh rakyat berkonsentrasi dan
mengarahkan perhatiannya pada pembangunan ekonomi,
3)
Diperkenalkan kebijakan
pembatasan peran partai-partai non-Golkar disertai rekayasa struktural dan
kooptasi negara terhadap partai,
4)
Pemilihan umum
dilakukan dengan manajemen yang mendukung bagi terjaminnya kelestarian hegemoni
Golkar dan kelangsungan kekuasaan Golkar dalam pemerintahan,
5)
Partai-partai politik
non-Golkar menghadapi persoalan-persoalan intern mereka berupa konflik
antarunsur atau kepentingan. (Saefulloh Fatah, 2000: 196)
Sebuah sejarah panjang kekuatan Golkar
membuat kita tidak dapat dengan mudah mengaleniasikan kekuatan massa untuk
memenangkan pemilihan umum, untuk tahun-tahun berikutnya selama Orde Baru Golkar
selalu mendapatkan kemenangan, kemenangan untuk menggenggam negara.
Sumber
bacaan:
Ricklefs,
M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Saefulloh
Fatah, Eep, 2000. Pengkhianatan Demokrasi
ala Orde Baru, Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Supardan,
Dadang, 2007. Pengantar Ilmu Sosial
Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar