Pengangkatan
Presiden Soeharto menjadi presiden Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden
Sukarno merupakan sebuah peristiwa yang akan terus diingat oleh generasi Indonesia
yang masih peduli dengan sejarah perjalanan bangsanya. Naiknya Soeharto menjadi
presiden Indonesia bukanlah tanpa friksi yang terjadi dalam masyarakat, masih
segar diingatan kita berbagai peristiwa yang mengiringi naiknya Soeharto
menjadi presiden Indonesia. Ada beberapa peristiwa sejarah yang kontroversi
dalam catatan saya dalam menghantarkan Soeharto menjadi presiden Indonesia
seperti Peristiwa G30S dan Super Semar
Letter yang keberadaanya masih
dipertanyakan.
Ketika
sudah menjadi presiden pun Soeharto tidak lepas dari berbagai peristiwa yang kontroversi,
salah satunya ialah Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 atau yang
lebih akrab kita dengar sebagai Peristiwa Malari 1974. Inilah salah satu
peristiwa yang membuat kita merasa miris. Betapa tidak, tercatat 11 orang
meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor
dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak dan 160 kg emas hilang dari sejumlah toko
perhiasan. (Adam, Asvi Warman. 2009: 126).
Peristiwa
ini dapat dikatakan sebuah titik kulminasi sebuah pengekangan yang diterapkan
Presiden Soeharto terhadap rakyatnya, ketika Soeharto naik menjadi presiden
pada tahun 1966 maka agenda utamanya ialah memulihkan perekonomian Indonesia
yang sangat merosot pada era akhir pemerintahan Sukarno. Ketika gagasan ini
diterapkan secara tidak langsung untuk mensukseskan program tersebut ialah
dengan memberikan rasa aman bagi para penanam modal asing di Indonesia, maka
Presiden Soeharto memberikan jaminan stabilitas keamanan baik itu secara
regional maupun nasional. Imbasnya berbagai hal diantisipasi untuk meredam kritik
tajam yang biasa dilontarkan oleh kalangan mahasiswa maupun pers, hal ini
menyebabkan keterbukaan atau kebebasan dalam menyuarakan menjadi harapan yang
sangat riskan untuk dilakukan karena tindakan represif yang biasa dilakukan
oleh pemerintah Soeharto pada saat itu.
Penanaman
modal asing begitu tidak terkendali hal tersebut untuk memulihkan keadaan
ekonomi Indonesia. Akan tetapi, ada hal yang tidak diperhatikan pemerintah
ialah realita yang terjadi di masyarakat dan ini menjadi kerisauan bagi para
mahasiswa salah satunya. Mahasiswa mengkritisi kebijakan Soeharto dalam bidang
ekonomi yang tidak membawa perubahan bagi rakyat kecil, produk-produk dari luar
negeri khususnya dari Jepang membanjiri pasar nasional sedangkan produk dalam
negeri masih belum mempunyai tempat. Kritik mahasiswa disampaikan ketika Perdana
Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada tanggal 14-17 Januari
1947 dengan sebuah demonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah. Akan
tetapi, mahasiswa gagal menerobos pagar karena dijaga ketat oleh petugas
keamanan dan kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia
(IGGI), Jan P. Pronk dijadikan
momentum untuk demonstrasi antimodal asing di Indonesia. Klimaksnya, pada
tanggal 15 Januari 1947 terjadi demonstrasi dan kerusuhan.
Ada
beberapa pandangan atau interpretasi dari terjadinya peristiwa tersebut,
peristiwa Malari 1974 bagi beberapa kalangan sebagai sebuah peristiwa penolakan
mahasiswa terhadap penanaman modal asing, bagai kaum intelektual sebagai sebuah
ketidaksenangan terhadap Asisten Pribadi Presiden (ASPRI) seperti Ali Moertopo,
Soejono Humardani, dan lain-lain yang memiliki kekuatan terlalu besar. Dan ada
juga kalangan yang memberikan pandangan bahwa Peristiwa Malari 1974 ini sebagai
sebuah bentuk persaingan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.
Setelah
kejadian tersebut Soeharto langsung memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai
Pangkomkamtib, membubarkan ASPRI serta menangkap beberapa tokoh yang dianggap
bertanggung jawab atas peristiwa tersebut seperti Sjahrir dan Hariman Siregar
namun setelah diadili dua tokoh ini tidak terbukti bersalah. Bagi Presiden
Soeharto peristiwa 15 Januari 1974 merupakan tamparan yang keras apalagi
dihadapan seorang tamu negara, semenjak itu Presiden Soeharto sangat selektif
memilij pembantunya dan memperketat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para
mahasiswa dengan dikeluarkannya peraturan tentang NKK/BKK. Artinya, mahasiswa
harus kembali ke kampus, benar-benar menjadi mahasiswa yang berbasis akademis
tidak terjun ke politik praktis.
Sampai
saat ini belum pernah terungkap siapakah orang atau instansi yang bertanggung
jawab atas pecahnya peristiwa 15 Januari 1974, menurut Asvi Warman Adam
sebagian peristiwa pada masa Orde Baru termasuk Peristiwa Malari 1974, memang
masih gelap. Dan kita sebagai generasi yang peduli akan sejarah bangsa kita
bersyukur bahwa banyak informasi yang berkembang untuk membongkar manipulasi
sejarah istilah yang dipakai sejarawan Asvi. Untuk menemukan titik terang
peristiwa sejarah, walaupun peristiwa tersebut masih dalam ranah gelap maupun
abu-abu.
Sumber bacaan:
Adam, Asvi
Warman. 2009. Membongkar Manipulasi
Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta Kompas
Ricklefs,
M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta: Serambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar