Sabtu, November 24, 2012

Perjuangan Nelayan

Sebelum saya merasakan secara langsung atau melihat dengan mata kepala sendiri jadi nelayan itu enak loh, punya perahu sendiri, bisa mengarungi lautan kemanapun dan sudah pasti mendapatkan rupiah yang diharapkan. Dan sebelumnya saya masih mengesampingkan bagaimana seorang nelayan mencari ikan untuk kita konsumsi, kita dengan begitu enaknya menawar ikan semurah mungkin, kita dengan begitu mudahnya membuang hasil tangkapan para nelayan. Jikalau saja kita telusuri lebih jauh, bahwa menjadi nelayan itu tidak seenak atau seindah yang kita bayangkan, begitu banyak pengorbanan yang harus mereka lakukan, begitu banyak rintangan yang harus mereka hadapi dan semua itu mereka lakukan dengan penuh pengharapan. Berharap agar anak istri bisa makan, berharap agar hasil tangkapan lebih banyak, berharap agar cuaca mendukung, berharap agar ombak tenang, berharap agar badai tidak memporak-porandakan perahu mereka dan berharap mereka dapat kembali bertemu dengan keluarga mereka lagi.

Selalu mereka mengarungi lautan dengan penuh harap, namun yang sudah banyak kita lihat banyak nelayan yang masih mengalami kesulitan untuk keluar dari lubang jarum yang bernama "kemiskinan dan kesengsaraan". Mengapa mereka mengalami hal seperti itu?

Mereka harus menerima ketika harga bahan bakar yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan begitu mahal, mereka harus menerima ketika cuaca buruk dan mereka tidak pergi melaut, mereka harus menerima ketika laut mereka rusak akibat eksploitasi para "pengusaha modal besar" dan mereka harus menerima ketika ikan mereka harus bersaing dengan ikan impor. Padahal laut kita luas, lalau apa yang salah?

Tidak etis kalau kita hanya mencari-cari kesalahan baik kepada orang lain, kepada pemerintah ataupun kepada "PENGUASA". Nelayan itu tangguh, setangguh ia mengarungi samudera dan lautan luas, setangguh ia melawan badai, dan setangguh ia melawan nasib dan layak ia sebagai pahlawan bagi keluarganya.

Karena nenek moyang kita seorang PELAUT.

Rabu, September 12, 2012

Mahasiswa Wirausaha Dalam Catatan

Dewasa ini, diberbagai perguruan tinggi di Indonesia baik swasta maupun negeri mempunyai program untuk mengembangkan minat setiap mahasiswanya baik secara langsung maupun tidak. Sehingga tidak heran apabila banyak sekali unit kegiatan mahasiwa maupun berbagai acara yang secara khusus menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk aktif dalam setiap kegiatan wirausaha.

Di Indonesia sendiri angka golongan yang berwirausaha masih sedikit, sehingga perlu upaya dari berbagai kalangan untuk terus memberikan perhatian lebih bagi kemajuan kelas menengah tersebut. Salah satunya ialah mengajak para mahasiswa yang berada di universitas, institut ataupun lembaga lainnya untuk berwirausaha, bahkan program wirausaha secara khusus ada yang memasukkannya menjadi bagian kurikulum yaitu berupa mata kuliah.

Program berwirausaha memang merupakan sebuah peluang yang sangat bagus, banyak organisasi yang memotivasi anggotanya bahwa untuk memulai berwirausaha agar mengesampingkan kemampuan ataupun modal usaha. Akan tetapi, lebih kepada ada tidak niatan untuk berwirausaha, semangat berwirausaha serta siap bekerja keras dan bekerja cerdas untuk membangun usaha dari titik nol.

Tentu saja tawaran tersebut disambut dengan penuh antusias bagi sebagian besar mahasiswa, mereka berlomba-lomba untuk membuat sebuah usaha dan mendapatkan penghasilan yang besar. Mereka terpacu untuk membuktikan diri bahwa saya bisa menjadi orang yang sukses dalam berwirausaha.

Pertanyaannya, ketika mahasiswa mempunyai keinginan menjadi usahawan yang sukses secara karir dan mempunyai finansial yang lebih, apakah mereka tidak mengabaikan sebuah titik tujuan kehidupan yaitu tujuan hidup yang hakiki. Karena tidak sedikit mahasiswa yang secara tidak sadar maupun sadar mengabaikan hal tersebut.

Seperti contoh, saya temukan pada universitas di Bandung. Ada sebuah spanduk dengan ukuran cukup besar, yang isinya mengajak setiap mahasiswa untuk bergabung menjadi anggotanya. Pada spanduk tersebut terpampang juga orang-orang yang sukses berkarir menjadi usahawan dengan pendapan sekian dan masih berstatus menjadi mahasiswa. Contoh semacam ini sebenarnya sangat bagus, bagaimana memotivasi setiap orang walaupun status mahasiswa namun kita masih bisa mengembangkan potensi kita lebih dari yang kita lakukan selama ini.

Catatannya jangan sampai, sebuah cita-cita menjadi usahawan membawa mereka menjadi orang yang hanya cinta akan sebuah penghargaan prestisius, pujian, sukses secara finansial lalu mengabaikan tujuan hakiki dalam kehidupan. Semoga para mahasiswa yang terjun dalam berbagai bidang usaha menjadi seorang wirausahawan yang tetap menjaga nilai-nilai yang akan menuntun mereka kepada tujuan hidup yang hakiki.

Jumat, Agustus 03, 2012

Ramadhan: Sebuah Catatan Historis

Salah satu hal yang paling ditunggu oleh semua umat muslim di dunia ialah, datangnya bulan suci Ramadhan, dimana hanya sekali setiap tahunnya. Dan mengapa semua orang merindukannya? Karena didalam bulan Ramadhan ada begitu banyak berkah, nikmat, hidayah dan semuanya yang tidak terhingga yang diberikan Allah Subhanahu Wata'ala'.

Selain daripada itu, dalam bulan suci Ramadhan ada begitu banyak peristiwa bersejarah yang terjadi pada bulan Ramadhan. Sudah sering kita dengar bahwa diturunkannya Al-Qur'an, kitab suci umat Islam yaitu pada bulan Ramadhan. Berbagai perang yang diikuti oleh Rasullullah Muhammad dan dimenangkan berlangsung pada bulan Ramadhan.

Entah suatu kebetulan atau memang Allah telah mengaturnya dengan sedemikian rupa, karena pada dasarnya bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah, bulan penuh ampunan, bulan penuh maghfiroh. [bersambung].

Rabu, Mei 30, 2012

Rendahnya Peran Media Massa di Indonesia dalam Mengedukasi Masyarakat

Pagi-pagi sekali ketika kita hendak menyaksikan acara di televisi khususnya di Indonesia kita akan disuguhkan oleh tontotan atau acara yang mengganggu suasana pagi kita, mulai dari acara yang menampilkan fenomena kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, tawuran, kasus asusila dan hal lainnya. Yang manurut saya hal itu sangat merusak pemikiran atau moral rakyat Indonesia.

Kita seperti dibawa untuk menjadi audiens yang bodoh, yang hanya meyaksikan tayangan yang tidak mendidik, kita dibawa keranah provokasi, ranah kekerasan dan ranah yang penuh dengan kebohongan. Betapa tidak, setiap hari berita tentang provokasi muncul disetiap channel atau saluran televisi.

Media massa yang baik adalah media massa yang mampu mengedukasi pemirsa menjadi pribadi yang maju bukan di cekoki dengan acara yang memuakkan dan membosankan. Lihat acara sinetron di Indonesia, kalau tidak bercerita tentang kekerasan dalam rumah tangga, persaingan dalam merebutkan kekasih, memperebutkan harta warisan hingga pertentangan denga teman di sekolah atau problematika dalam keluarga hal tersebut setiap malam kita saksikan. Belum lagi ada acara di stasiun swasta di Indonesia yang bercerita mengenai drama semacam kolosal tapi tidak bermutu, apa pasalnya, bagaimana seorang aktor maupun aktris yang menjelma menjadi monster, atau efek film yang jelek, dimana pemerannya menunggangi seekor capung raksasa, ikan yang bisa berbicara. Ditambah lagi dengan acara musik yang menampilkan girlband dan boyband yang hanya bisa lipsing, lalu dimana ranah edukasi untuk masyarakat. Jangan-jangan stasiun televisi hanya mencari keuntungan suatu korporasi, rating semata.

Pantas saja media massa di Australia menyebut media massa kita paling tidak bermutu atau minim edukasi. Gosip, berita korupsi, pertentangan antar elit politik semuanya dimunculkan dalam berita. Media massa tidak sensitif terhadap masyarakat apakah membutuhkan acara yang seperti itu ataukah tidak.

Jangan heran kalau ternyata angka kriminalitas, angka korupsi, angka depresi dan angka yang memalukan diri kita sendiri lebih banyak yang muncul. Kebebasan pers memang diharuskan, namun yang harus diperhatikan ialah bagaimana media massa seperti televisi ini menampilkan sisi lain untuk mengedukasi masyarakat. Media massa seperti televisi harus menjadi garda terdepan dalam perubahan pola pendidikan masyarakat. Mari berbenah untuk tayangan yang bermutu.

Selasa, Mei 29, 2012

Soeharto, benarkah pemimpin yang ideal untuk Indonesia?

Akhir-akhir ini banyak diskusi mengenai kerinduan rakyat akan sosok pemimpin yang tegas, pemimpin yang mampu mengakomodir harapan rakyatnya, serta pemimpin yang tidak plin-plan. Kesemuanya itu tertuju pada satu pemimpin yang setidaknya mampu memberi penawar rasa dahaga tersebut ialah mantan Presiden Indonesia Soeharto (Alm.). Pertanyaannya ialah mengapa harus Soeharto? mengapa bukan presiden-presiden lainnya, seperti Soekarno, Syafrudin Prawiranegara, Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono?

Selain sosok Soeharto, sebenarnya rakyat Indonesia juga merindukan sosok Soekarno yang mampu berbuat banyak dalam kancah politik baik dalam negeri maupun luar negeri, Soekarno dapat menunjukkan eksistensi dan harga diri bangsa dan negara Indonesia. Namun, seperti pada setiap catatan sejarah setiap habis masa kepemimpinan maka Soekarnopun mendapat kritikan yang tajam dari berbagai kelompok.

Kembali lagi kepada sosok Soeharto, Soeharto dirasa mampu memberikan kenangan tersendiri bagi setiap rakyatnya, walaupun banyak hal-hal yang patut kita cermati sehingga menjadi bahan objektivitas kita dalam melihat sosok Soeharto. Akan tetapi, terlihat jelas pada masa kepemimpinan Soeharto Indonesia akan dibawa kemana, selain program pembangunan yang tertata jelas, Soeharto mampu menunjukkan kepada dunia luar bahwasannya Indonesia bukannlah negara yang dapat seenaknya dijadikan sebuah bahan lelucon bangsa atau negara lain.

Lihat sekarang, kita sedang di dalam masa Demokrasi yang dinggap sebuah sistem yang ideal bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya kita seperti jalan di tempat atau bahkan kita sudah salah mengartikan makna dari Demokrasi itu sendiri.

Pantas saja walaupun banyak stigma negatif terhadap sosok Soeharto, rakyat merasa butuh pemimpin yang tegas untuk menghadapi dunia politik yang "menjijikan", rakyat yang "kelaparan", pendidikan yang "amburadul", layanan sosial yang "semrawut", serta para abdi negeri yang "menghisap darah rakyat sendiri".

Jumat, Mei 18, 2012

Lady Gaga, Benturan Budaya dan Norma di Indonesia

Akhir-akhir ini dunia hiburan tanah air direpotkan dengan berbagai kritikan dan ancaman bahkan mungkin lebih parah. Pasalnya ada sebuah konser musik dari Lady Gaga yang ditolak oleh banyak kalangan, baik Organisasi Masyarakat berbasis keagamaan, aparat keamanan, tokoh-tokoh nasional hingga masyarakat sipil pun ikut untuk menolak kedatangan Lady Gaga.

Bagi seorang musisi, budayawan maupun para penikmat musik tentunya pelarangan tersebut merupakan sebuah kemunduran dalam hal kebebasan berekspresi atau bahkan mengkerucut menjadi sebuah degradasi dalam hal  hasil budaya, karena hasil dari budaya tersebut - dalam hal ini kesenian, menjadi titik pergolakan masyarakat.

Di sisi lain, bagi kalangan yang mengatakan dirinya peduli dengan generasi muda sekarang  serta bagi golongannya, merasa bahwa kedatangan Lady Gaga hanya mendatangkan keburukan, baik secara moral maupun secara budaya. Karena apa yang diperlihatkan atau dipertunjukkan tidak cocok dengan budaya Indonesia. Selain itu, pribadi atau gaya yang ditampilkan tidaklah patut untuk kita idolakan.

Pada hakikatnya setiap orang berhak untuk menolak atau menerima kedatangan siapapun untuk menampilkan apa yang jadi pekerjaannya. Akan tetapi, sekiranya hal tersebut membuat masyarakat kita menjadi terkotak-kotak, sudah sepatutnya hal tersebut dicermati lebih lanjut.

Jumat, April 27, 2012

Serumpun Tapi Tak Mesra

Indonesia - Malaysia Dulu dan Kini.

Sepertinya pertentangan Indonesia dengan Malaysia belumlah akan berakhir dalam waktu yang singkat, masih banyak yang harus dibenahi untuk membangun sebuah kondisi yang kondusif serta menguntungkan bagi kedua negara tersebut. Pertentangan Indonesia sudah sejak lama hadair, masih ingat dalam memori kita bersama bahwa Indonesia pernah ingin "mengganyang" Malaysia dan sepertinya Malaysia tidak hendak untuk berniat secara menyeluruh untuk tidak lahi memanaskan masalah.

Dewasa ini pertentangan Malaysia dengan Indonesia semakin meruncing, seperti perebuatan pulau, Sipadan Ligitan, serta pulau lainnya. Bagi Orang Indonesia, Malaysia telah merebut budaya Bangsa Indonesia, seperti Lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, Tari dari Bali, Batik Indonesia. Tidak hanya soal budaya Malaysia "menampar" wajah kedaulatan Indonesia, berkali-kali nelayan Malaysia masuk perairan laut Indonesia secara ilegal, artau bahkan para pengusaha dari Malaysia menjadi "cukong" dalam pembalakan hutan di Indonesia.

Dan yang lebih tragis ialah betapa "kurang ajarnya" Malaysia dengan seenak hatinya mengirimkan jenazah para TKW asal Indonesia dengan berbagai kasus yang belum terungkap. Dan sekali lagi "Malaysia" telah "mengencingi" serta "meludahi" nurani rakyat Indonesia dengan mengirimkan jenazah yang beberapa oragan dalamnya telah hilang, tragis memang.

Lalu bagaimana dengan Malaysia? Bagi Malaysia mereka merasa tidak melakukan sesuatu hal yang merugikan Indonesia, salah siapa Indonesia tidak mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan dalam peta NKRI?. Lalu salahkah Malaysia menggunakan budaya orang atau mengklaim budaya Indonesia, yang oleh penduduk Indonesia sendiri pun tidak menghargainya. Mari kita berinstrospeksi bagaimana mencari sebuah penyelesaian tanpa ada konflik lagi.

Sabtu, Februari 04, 2012

Diskriminasi dalam pendidikan

Tulisan ini berawal dari informasi kolega-kolega saya, berdiskusi tentang pengalaman mereka ketika melakukan sebuah kegiatan pengenalan universitas dan pemberian motivasi kepada siswa kelas X, XI dan XII SMA se-Kawedanan Karangampel - Kabupaten Indramayu. Tujuan ini dimaksudkan untuk menambah motivasi dan harapan, setidaknya mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, intinya capailah cita-cita tanpa takut akan keadaan dan semangat menjalani kehidupan.

Akan tetapi, sepertinya semangat tersebut akan luntur, bilamana tidak ada dukungan dari berbagai pihak baik itu teman, keluarga, serta pihak sekolah dimana mereka belajar. Kasus ini bermula ketika kawan-kawan alumni dari memberikan materi pengenalan kampus. Namun yang terjadi ialah tidak semua siswa kelas X mendapatkan informasi tersebut. Hal ini terjadi karena perbedaan status kelas mereka. Yang satu kelas khusus dan yang satu lagi kelas biasa.

Apa yang salah dalam hal ini? Semua siswa berhak mendapatkan informasi apapun tentang pendidikan, tanpa membedakan status kelasnya. Memangnya siswa yang berada di kelas khusus akan secara otomatis melanjutkan kuliah? Dan apa benar siswa yang berasal dari kelas biasa tidak mempunyai kesempatan untuk kuliah?. Kalau ada yang berpikiran tersebut, saya pikir perlu ada perombakan besar-besaran pada otak dan pikirannya, bila perlu di instal ulang.

Pendidikan hak semua orang, biarkan siswa mengembangkan apa yang ada dalam dirinya, yang terpenting ialah peran kita untuk terus memberikan pengarahan dan pengawalan agar tercapai semua tugas-tugasnya.

Kamis, Februari 02, 2012

KOLECER, KINCIR ANGIN TRADISIONAL

Sebuah pengalaman yang unik dan menyenangkan ditengah himpitan kepenatan dan rutinitas kampus, hal tersebut saya dapatkan ketika berkunjung ke Subang Jawa Barat. Subang merupakan daerah yang terkenal akan hasil perkebunannya seperti teh, sayur-sayuran, buah-buahan (nanas, rambutan, manggis dan buah-buahan lainnya), di sektor lainnya seperti perikanan subang juga memiliki potensi alam yang terdapat di pesisir utara yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sektor wisata juga berkembang, baik jenis wisata yang menawarkan panorama alam nan indah hingga pertunjukan seni budaya seperti Sisingaan, dan berbagai kesenian lainnya.

Namun, ada satu hal yang membuat saya terkesima dan sangat menyenangkan serta dapat membuat pikiran kita segar kembali yaitu pemandangan alam dan tentang pertunjukkan kolecer (bahasa sunda). Kolecer merupakan sebuah mainan atau alat yang berupa kincir angin, baling-baling terbuat dari kayu jati dan ditopang oleh bambu. Dibutuhkan angin yang besar agar kolecer berputar dengan maksimal, sehingga terkadang bunyi dari putara tersebut bagaikan deru mesin pesawat terbang, disisi lain ramainya kolecer tergantung cuaca atau musim yang mendukung.


Banyak warga di daerah subang yang memasang kolecer di pekarangan rumah, sawah maupun pinggir jalan desa. Apabila angin sedang besar maka terdengar gemuruh dari baling-baling tersebu, hobi yang digemari oleh sebagian banyak warga tersebut cukup merogoh kantong agak dalam, hal tersebut untuk membeli baling-baling dan peralatan pendukung lainnya, harga baling-baling yang terbuat dari kayu jati berkisar dari mulai ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah tergantung kualiats bahan kolecer dan panjangnya. ukuran baling-baling tersebut yaitu sekitar 2 meter hingga lebih dari 6 meter. Berbicara mengenai kincir angin tradisional, saya teringat akan Negara Belanda yang juga terkenal dengan kincir anginnya sehingga mendapat julukan negeri kicir angin. Maka dengan banyaknya kolecer yang tersebar di Kabupaten Subang, sudah sepantasnya Subang juga mendapat julukan baru yaitu “Subang Kota Kolecer”.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, mainan tradisional tersebut sudah mulai tergerus arus modernisasi, kolecer yang ada sekarang tidak banyak atau sudah tidak lagi ramai seperti tahun-tahun sebelumnya. Semoga saja kolecer  tetap ada menjadi salah satu warisan budaya kita, bila perlu dikembangkan menjadi salah satu tujuan wisata yang menyenangkan dengan membangun desa kolecer yang tentunya akan membantu masyarakat setempat.

Rabu, Januari 25, 2012

Menakar Peranan Mahasiswa Asal Kabupaten Indramayu

Geliat pendidikan di Kabupaten Indramayu dewasa kini semakin nyata, ini terlihat dari berbagai program yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu, program tersebut semata hanya ingin melahirkan generasi muda yang berkualitas untuk pembangunan daerah dimasa yang akan datang. Program pemberian beasiswa kepada peserta didik yang hendak melanjutkan ke perguruan tinggi diberikan untuk meringankan beban mahasiswa. Banyak siswa dari Kabupaten di Indramayu yang menyerbu Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Pandjadjaran, Universitas Pasundan, Politeknik Bandung, Universitas Islam Negeri Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Gunadharma, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Negeri Yogyakarta, dan masih banyak univeritas lainnya baik negeri maupun swasta.

Dari sekian banyaknya mahasiswa asal Kabupaten Indramayu yang tersebar di berbagai universitas, seharusnya menjadi suatu modal yang besar bagi kemajuan Indramayu, baik itu statusnya masih menjadi mahasiswa maupun sudah lulus dari almamaternya. Akan tetapi, rupanya hal tersebut masih jauh dari panggang, sedikit sekali mahasiswa asal Indramayu yang berkontribusi nyata dan mau memikirkan Indramayu di masa yang akan datang.

Memang tidak semua mahasiswa Indramayu tidak berkontribusi secara langsung. Misalnya ada kegiatan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa dalam mengisi kegiatan di Kabupaten Indramayu, seperti: sosialisasi dan motivasi untuk masuk perguruan tinggi, penyelenggaraan try out, kegiatan perlombaan, mengadakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (itupun masih sedikit).

Kalau saja mahasiswa yang berada di setiap universitas dan memiliki keahlian sesuai bidang keilmuannya duduk bersama memikirkan suatu perubahan design pembangunan bagi masyarakat Indramayu dan tentunya bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, LSM maupun dinas yang lainnya. Mungkin saja pandangan negatif kepada daerah Indramayu semakin hari kian hilang. Dengan bahu membahu pandangan orang tentang prostitusi di Indramayu yang berakar dari kemiskinan, banyaknya kriminalitas, angka putus sekolah, pencemaran dan kerusakan lingkungan, kekeringan, penyelenggaraan pendidikan yang belum optimal, serta pengembangan sumber daya manusia yang belum tepat sasaran akan bermuara pada hal yang positif dan menguntungkan.

Namun, bukanlah hal yang mudah memang bagi mahasiswa yang masih berstatus sebagai mahasiswa ataupun yang sudah lulus. Tidak sedikit mahasiswa asal Indramayu yang sudah lulus enggan mengaplikasikan ilmu dan penegtahuannya untuk membangun Indramayu. Peluang kerja di daerah perkotaan dengan gaji yang besar, kenyamanan suatu daerah tempat kuliah, ataupun sedikitnya peluang untuk kerja ataupun ruang untuk mengaplikasikannya menjadi problema tersendiri.

Jargon mahasiswa adalah agen perubahan harus benar-benar diterapkan di lingkungan daerah asalnya. Jangan hanya aktif di kampus tapi melempen untuk berkontribusi langsung di masyarakat Indramayu. (Khusna, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia)