Rabu, Mei 30, 2012

Rendahnya Peran Media Massa di Indonesia dalam Mengedukasi Masyarakat

Pagi-pagi sekali ketika kita hendak menyaksikan acara di televisi khususnya di Indonesia kita akan disuguhkan oleh tontotan atau acara yang mengganggu suasana pagi kita, mulai dari acara yang menampilkan fenomena kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, tawuran, kasus asusila dan hal lainnya. Yang manurut saya hal itu sangat merusak pemikiran atau moral rakyat Indonesia.

Kita seperti dibawa untuk menjadi audiens yang bodoh, yang hanya meyaksikan tayangan yang tidak mendidik, kita dibawa keranah provokasi, ranah kekerasan dan ranah yang penuh dengan kebohongan. Betapa tidak, setiap hari berita tentang provokasi muncul disetiap channel atau saluran televisi.

Media massa yang baik adalah media massa yang mampu mengedukasi pemirsa menjadi pribadi yang maju bukan di cekoki dengan acara yang memuakkan dan membosankan. Lihat acara sinetron di Indonesia, kalau tidak bercerita tentang kekerasan dalam rumah tangga, persaingan dalam merebutkan kekasih, memperebutkan harta warisan hingga pertentangan denga teman di sekolah atau problematika dalam keluarga hal tersebut setiap malam kita saksikan. Belum lagi ada acara di stasiun swasta di Indonesia yang bercerita mengenai drama semacam kolosal tapi tidak bermutu, apa pasalnya, bagaimana seorang aktor maupun aktris yang menjelma menjadi monster, atau efek film yang jelek, dimana pemerannya menunggangi seekor capung raksasa, ikan yang bisa berbicara. Ditambah lagi dengan acara musik yang menampilkan girlband dan boyband yang hanya bisa lipsing, lalu dimana ranah edukasi untuk masyarakat. Jangan-jangan stasiun televisi hanya mencari keuntungan suatu korporasi, rating semata.

Pantas saja media massa di Australia menyebut media massa kita paling tidak bermutu atau minim edukasi. Gosip, berita korupsi, pertentangan antar elit politik semuanya dimunculkan dalam berita. Media massa tidak sensitif terhadap masyarakat apakah membutuhkan acara yang seperti itu ataukah tidak.

Jangan heran kalau ternyata angka kriminalitas, angka korupsi, angka depresi dan angka yang memalukan diri kita sendiri lebih banyak yang muncul. Kebebasan pers memang diharuskan, namun yang harus diperhatikan ialah bagaimana media massa seperti televisi ini menampilkan sisi lain untuk mengedukasi masyarakat. Media massa seperti televisi harus menjadi garda terdepan dalam perubahan pola pendidikan masyarakat. Mari berbenah untuk tayangan yang bermutu.

Selasa, Mei 29, 2012

Soeharto, benarkah pemimpin yang ideal untuk Indonesia?

Akhir-akhir ini banyak diskusi mengenai kerinduan rakyat akan sosok pemimpin yang tegas, pemimpin yang mampu mengakomodir harapan rakyatnya, serta pemimpin yang tidak plin-plan. Kesemuanya itu tertuju pada satu pemimpin yang setidaknya mampu memberi penawar rasa dahaga tersebut ialah mantan Presiden Indonesia Soeharto (Alm.). Pertanyaannya ialah mengapa harus Soeharto? mengapa bukan presiden-presiden lainnya, seperti Soekarno, Syafrudin Prawiranegara, Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono?

Selain sosok Soeharto, sebenarnya rakyat Indonesia juga merindukan sosok Soekarno yang mampu berbuat banyak dalam kancah politik baik dalam negeri maupun luar negeri, Soekarno dapat menunjukkan eksistensi dan harga diri bangsa dan negara Indonesia. Namun, seperti pada setiap catatan sejarah setiap habis masa kepemimpinan maka Soekarnopun mendapat kritikan yang tajam dari berbagai kelompok.

Kembali lagi kepada sosok Soeharto, Soeharto dirasa mampu memberikan kenangan tersendiri bagi setiap rakyatnya, walaupun banyak hal-hal yang patut kita cermati sehingga menjadi bahan objektivitas kita dalam melihat sosok Soeharto. Akan tetapi, terlihat jelas pada masa kepemimpinan Soeharto Indonesia akan dibawa kemana, selain program pembangunan yang tertata jelas, Soeharto mampu menunjukkan kepada dunia luar bahwasannya Indonesia bukannlah negara yang dapat seenaknya dijadikan sebuah bahan lelucon bangsa atau negara lain.

Lihat sekarang, kita sedang di dalam masa Demokrasi yang dinggap sebuah sistem yang ideal bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya kita seperti jalan di tempat atau bahkan kita sudah salah mengartikan makna dari Demokrasi itu sendiri.

Pantas saja walaupun banyak stigma negatif terhadap sosok Soeharto, rakyat merasa butuh pemimpin yang tegas untuk menghadapi dunia politik yang "menjijikan", rakyat yang "kelaparan", pendidikan yang "amburadul", layanan sosial yang "semrawut", serta para abdi negeri yang "menghisap darah rakyat sendiri".

Jumat, Mei 18, 2012

Lady Gaga, Benturan Budaya dan Norma di Indonesia

Akhir-akhir ini dunia hiburan tanah air direpotkan dengan berbagai kritikan dan ancaman bahkan mungkin lebih parah. Pasalnya ada sebuah konser musik dari Lady Gaga yang ditolak oleh banyak kalangan, baik Organisasi Masyarakat berbasis keagamaan, aparat keamanan, tokoh-tokoh nasional hingga masyarakat sipil pun ikut untuk menolak kedatangan Lady Gaga.

Bagi seorang musisi, budayawan maupun para penikmat musik tentunya pelarangan tersebut merupakan sebuah kemunduran dalam hal kebebasan berekspresi atau bahkan mengkerucut menjadi sebuah degradasi dalam hal  hasil budaya, karena hasil dari budaya tersebut - dalam hal ini kesenian, menjadi titik pergolakan masyarakat.

Di sisi lain, bagi kalangan yang mengatakan dirinya peduli dengan generasi muda sekarang  serta bagi golongannya, merasa bahwa kedatangan Lady Gaga hanya mendatangkan keburukan, baik secara moral maupun secara budaya. Karena apa yang diperlihatkan atau dipertunjukkan tidak cocok dengan budaya Indonesia. Selain itu, pribadi atau gaya yang ditampilkan tidaklah patut untuk kita idolakan.

Pada hakikatnya setiap orang berhak untuk menolak atau menerima kedatangan siapapun untuk menampilkan apa yang jadi pekerjaannya. Akan tetapi, sekiranya hal tersebut membuat masyarakat kita menjadi terkotak-kotak, sudah sepatutnya hal tersebut dicermati lebih lanjut.