Jumat, November 11, 2011

Mass Media and Social Revolution

The mass media today is not so limited, there is no national boundaries as well as social and cultural boundaries, all joined with the social communication. fundamental difference is certainly different from previous eras, when the media was not big like it is today.
 
Social communication or social interaction is constructed by social media would require a certain supervision so that there is no utilization of social interaction that can lead to a complicated problem of the absence of strict control. The problems or social problems that arise can take the form of a social movement that supporters much or it could be in a social revolution, this is due to the intense communication via a mass media.
 
That concern may be said to be an excessive concern that there may be no basis that can be accounted for. However, if we look at the various events in recent years many media that exposes an event that occurs in a country, which at first is never revealed. Egypt, Tunisia, Libya, Syria became a country that has always been associated with a social revolution. domino effect could arise because of the mass media that revealed a problem in a country or region.

People who initially have access to or get information on a limited basis now with easy to obtain a news or opinion that was built by the mass media. people are now easy to communicate and make the perception, equating to a goal, telling of things that may have a distaste or disagreement with a policy or an action taken by people who are weak and those who have a strength.
 
In the interaction of people will easily organize an activity or movement to change the situation for those who do not or are not fit to be held a change. A wave of large mass will cause social unrest that is difficult to be controlled so as to trigger a social revolution. [Khusna, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah - Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung]

Kamis, November 10, 2011

Soekarno Father of Independence

Ir. Sukarno was born in Surabaya, East Java, June 6, 1901 - died in Jakarta, June 21, 1970 at the age of 69 years is Indonesia's first president who served in the period 1945-1966. He played an important role to liberate the nation of Indonesia from Dutch rule. Sukarno's Pancasila is the diggers because he who first sparked the basic concepts of Indonesia's state and he himself is named Pancasila. He was proclaimed the Independence of Indonesia together with Mohammad Hatta on August 17, 1945.

Selasa, November 01, 2011

Hegemoni Golongan Karya: Menggenggam Negara


Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto memang menjadi salah satu pemimpin yang mempunyai segudang prestasi maupun kontroversi, banyak para pengamat politik maupun sejarawan yang melihat bahwa semasa Indonesia di bawah Soeharto sebenarnya ada salah satu elemen yang mentasbihkan kekuasaanya selain miliiter, yaitu Golongan Karya.
            Golongan Karya bagi sebagian tokoh-tokoh Golkar bukan merupakan sebuah partai politik. Namun, benarkah Golkar bukan merupakan sebuah partai politik? Kalau memang benar Golkar bukan sebuah partai politik, mengapa Golkar bertarung dalam sebuah pemilu untuk merebut sebuah kekuasaan untuk duduk di pemerintahan dan menanamkan hegemoninya? Menurut Lijphart (2000: 731)  “partai politik diartikan sebagai suatu organisasi yang berusaha memenangkan jabatan publik dalam suatu persaingan di daerah pemilihan dengan satu atau lebih organisasi serupa” (Supardan, 2007: 506). Lebih jauh Eep Saefulloh Fatah (2000: 192) mengungkapkan bahwa Golkar memiliki alasan yang kuat untuk menjadi sebuah partai politik, kriteria tersebut antara lain:
1)      Merupakan kumpulan individu
2)      Merupakan perkumpulan yang terorganisasi dengan definisi mengenai posisi, fungsi dan hierarki anggota yang jelas dan baku
3)      Ada ikatan identitas yang sama diantara anggotanya baik berupa ideologi maupun kepentingan
4)      Memiliki tujuan memperoleh kekuasaan politik dalam pemerintahan
5)      Ikut serta dalam pemilu untuk mencapai tujuannya.
            Sudah jelas bahwasannya Golongan Karya merupakan sebuah partai politik walaupun hal tersebut selalu diklaim oleh tokoh Golkar bahwa mereka tidak setuju bahwa Golkar partai politik. Walaupun begitu, Golkar sudah mulai menanamkan hegemoni kepartaian pada setiap partisipannya. Hegemoni Golkar sudah mulai ketika pemilihan umum 1971, dimana pada saat itu Soeharto dengan pemerintahan Orde Barunya yang dikenal dengan Orde Pembangunan ingin menata dengan tujuan pembangunan dalam kerangka stabilisasi politik dan stabilisasi ekonomi, artinya ketika Soeharto ingin menstabilkan kehidupan berpolitik hal pertama yang Soeharto dan Golkar lakukan ialah mengecilkan kekuatan partai politik lainnya, pada oktober 1966 Orde Baru merehabilitasi Partai Murba, dan didirikannya Partai Muslim Indonesia (Parmusi) pada 20 Februari 1968, selanjutnya ialah melemahkan partai dengan program fusi dimana PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan Murba difusikan menjadi satu partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 9 maret 1970. Sementara Parmusi, NU, PSII dan Perti difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 13 Maret 1970. Dengan program fusi untuk menjalankan rencana strategis yaitu mengamankan kekuasaan, maka secara tidak langsung Golkar telah menjalankan sebuah model manajemen politik - khusunya manjemen konflik politik, yaitu yang awalnya dilakukan pengkondisian kerja sama antarpartai, kemudian konfederasi, dan baru setelah itu fusi.
            Puncak dari legitimasi yang dibangun golongan karya ialah ketika pemilu 1971, dimana Golkar meraih kesuksesan yang luar biasa, kemenangan ini dipengaruhi juga dengan dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 1970 pada Februari 1970 Undang-Undang ini memiliki implikasi sangat besar karena para pegawai negeri harus menunjukkan loyalitasnya dengan menyalurkan aspirasi mereka melalui Golkar. Untuk menguatkan pengaruh Golkar, pemerintah dengan Soeharto sebagai motor penggerak Golkar mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1975 tentang pembatasan gerakan partai politik non-Golkar hanya sampai tingkat kecamatan.
            Pertarungan Golkar untuk memperoleh hegemoni terbukti pada pemilu 1971 dimana Golkar  memperoleh 62,8 suara, memenangkan 236 (65,6%) dari 360 kursi yang diperebutkan. PNI (6,9%), NU (18,7%) dengan komposisi tersebut maka secara otomatis negara dalam hegemoni Golongan Karya (Ricklefs, 2008: 585-586). Ada beberapa kondisi yang diciptakan untuk menanamkan hegemoni Golongan Karya yang dikomandoi Soeharto sebagai presiden, yaitu:
1)      Peran sosial politik militer dilegalisasi dengan kekuasaan yang besar untuk menjamin terciptanya stabilitas,
2)      Dilakukannya depolitisasi massa dengan alasan agar seluruh rakyat berkonsentrasi dan mengarahkan perhatiannya pada pembangunan ekonomi,
3)      Diperkenalkan kebijakan pembatasan peran partai-partai non-Golkar disertai rekayasa struktural dan kooptasi negara terhadap partai,
4)      Pemilihan umum dilakukan dengan manajemen yang mendukung bagi terjaminnya kelestarian hegemoni Golkar dan kelangsungan kekuasaan Golkar dalam pemerintahan,
5)      Partai-partai politik non-Golkar menghadapi persoalan-persoalan intern mereka berupa konflik antarunsur atau kepentingan. (Saefulloh Fatah, 2000: 196)
            Sebuah sejarah panjang kekuatan Golkar membuat kita tidak dapat dengan mudah mengaleniasikan kekuatan massa untuk memenangkan pemilihan umum, untuk tahun-tahun berikutnya selama Orde Baru Golkar selalu mendapatkan kemenangan, kemenangan untuk menggenggam negara.

Sumber bacaan:
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Saefulloh Fatah, Eep, 2000. Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru, Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Supardan, Dadang, 2007. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara

Peristiwa Malari 1974 Fragmen Sejarah yang Abu-abu


Pengangkatan Presiden Soeharto menjadi presiden Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Sukarno merupakan sebuah peristiwa yang akan terus diingat oleh generasi Indonesia yang masih peduli dengan sejarah perjalanan bangsanya. Naiknya Soeharto menjadi presiden Indonesia bukanlah tanpa friksi yang terjadi dalam masyarakat, masih segar diingatan kita berbagai peristiwa yang mengiringi naiknya Soeharto menjadi presiden Indonesia. Ada beberapa peristiwa sejarah yang kontroversi dalam catatan saya dalam menghantarkan Soeharto menjadi presiden Indonesia seperti Peristiwa G30S dan Super Semar Letter  yang keberadaanya masih dipertanyakan.
            Ketika sudah menjadi presiden pun Soeharto tidak lepas dari berbagai peristiwa yang kontroversi, salah satunya ialah Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 atau yang lebih akrab kita dengar sebagai Peristiwa Malari 1974. Inilah salah satu peristiwa yang membuat kita merasa miris. Betapa tidak, tercatat 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak dan 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. (Adam, Asvi Warman. 2009: 126).
            Peristiwa ini dapat dikatakan sebuah titik kulminasi sebuah pengekangan yang diterapkan Presiden Soeharto terhadap rakyatnya, ketika Soeharto naik menjadi presiden pada tahun 1966 maka agenda utamanya ialah memulihkan perekonomian Indonesia yang sangat merosot pada era akhir pemerintahan Sukarno. Ketika gagasan ini diterapkan secara tidak langsung untuk mensukseskan program tersebut ialah dengan memberikan rasa aman bagi para penanam modal asing di Indonesia, maka Presiden Soeharto memberikan jaminan stabilitas keamanan baik itu secara regional maupun nasional. Imbasnya berbagai hal diantisipasi untuk meredam kritik tajam yang biasa dilontarkan oleh kalangan mahasiswa maupun pers, hal ini menyebabkan keterbukaan atau kebebasan dalam menyuarakan menjadi harapan yang sangat riskan untuk dilakukan karena tindakan represif yang biasa dilakukan oleh pemerintah Soeharto pada saat itu.
            Penanaman modal asing begitu tidak terkendali hal tersebut untuk memulihkan keadaan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, ada hal yang tidak diperhatikan pemerintah ialah realita yang terjadi di masyarakat dan ini menjadi kerisauan bagi para mahasiswa salah satunya. Mahasiswa mengkritisi kebijakan Soeharto dalam bidang ekonomi yang tidak membawa perubahan bagi rakyat kecil, produk-produk dari luar negeri khususnya dari Jepang membanjiri pasar nasional sedangkan produk dalam negeri masih belum mempunyai tempat. Kritik mahasiswa disampaikan ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada tanggal 14-17 Januari 1947 dengan sebuah demonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah. Akan tetapi, mahasiswa gagal menerobos pagar karena dijaga ketat oleh petugas keamanan dan kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing di Indonesia. Klimaksnya, pada tanggal 15 Januari 1947 terjadi demonstrasi dan kerusuhan.
            Ada beberapa pandangan atau interpretasi dari terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa Malari 1974 bagi beberapa kalangan sebagai sebuah peristiwa penolakan mahasiswa terhadap penanaman modal asing, bagai kaum intelektual sebagai sebuah ketidaksenangan terhadap Asisten Pribadi Presiden (ASPRI) seperti Ali Moertopo, Soejono Humardani, dan lain-lain yang memiliki kekuatan terlalu besar. Dan ada juga kalangan yang memberikan pandangan bahwa Peristiwa Malari 1974 ini sebagai sebuah bentuk persaingan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.
            Setelah kejadian tersebut Soeharto langsung memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Pangkomkamtib, membubarkan ASPRI serta menangkap beberapa tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut seperti Sjahrir dan Hariman Siregar namun setelah diadili dua tokoh ini tidak terbukti bersalah. Bagi Presiden Soeharto peristiwa 15 Januari 1974 merupakan tamparan yang keras apalagi dihadapan seorang tamu negara, semenjak itu Presiden Soeharto sangat selektif memilij pembantunya dan memperketat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para mahasiswa dengan dikeluarkannya peraturan tentang NKK/BKK. Artinya, mahasiswa harus kembali ke kampus, benar-benar menjadi mahasiswa yang berbasis akademis tidak terjun ke politik praktis.
            Sampai saat ini belum pernah terungkap siapakah orang atau instansi yang bertanggung jawab atas pecahnya peristiwa 15 Januari 1974, menurut Asvi Warman Adam sebagian peristiwa pada masa Orde Baru termasuk Peristiwa Malari 1974, memang masih gelap. Dan kita sebagai generasi yang peduli akan sejarah bangsa kita bersyukur bahwa banyak informasi yang berkembang untuk membongkar manipulasi sejarah istilah yang dipakai sejarawan Asvi. Untuk menemukan titik terang peristiwa sejarah, walaupun peristiwa tersebut masih dalam ranah gelap maupun abu-abu.

Sumber bacaan:
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta Kompas
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi