Selasa, November 01, 2011

Peristiwa Malari 1974 Fragmen Sejarah yang Abu-abu


Pengangkatan Presiden Soeharto menjadi presiden Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Sukarno merupakan sebuah peristiwa yang akan terus diingat oleh generasi Indonesia yang masih peduli dengan sejarah perjalanan bangsanya. Naiknya Soeharto menjadi presiden Indonesia bukanlah tanpa friksi yang terjadi dalam masyarakat, masih segar diingatan kita berbagai peristiwa yang mengiringi naiknya Soeharto menjadi presiden Indonesia. Ada beberapa peristiwa sejarah yang kontroversi dalam catatan saya dalam menghantarkan Soeharto menjadi presiden Indonesia seperti Peristiwa G30S dan Super Semar Letter  yang keberadaanya masih dipertanyakan.
            Ketika sudah menjadi presiden pun Soeharto tidak lepas dari berbagai peristiwa yang kontroversi, salah satunya ialah Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 atau yang lebih akrab kita dengar sebagai Peristiwa Malari 1974. Inilah salah satu peristiwa yang membuat kita merasa miris. Betapa tidak, tercatat 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak dan 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. (Adam, Asvi Warman. 2009: 126).
            Peristiwa ini dapat dikatakan sebuah titik kulminasi sebuah pengekangan yang diterapkan Presiden Soeharto terhadap rakyatnya, ketika Soeharto naik menjadi presiden pada tahun 1966 maka agenda utamanya ialah memulihkan perekonomian Indonesia yang sangat merosot pada era akhir pemerintahan Sukarno. Ketika gagasan ini diterapkan secara tidak langsung untuk mensukseskan program tersebut ialah dengan memberikan rasa aman bagi para penanam modal asing di Indonesia, maka Presiden Soeharto memberikan jaminan stabilitas keamanan baik itu secara regional maupun nasional. Imbasnya berbagai hal diantisipasi untuk meredam kritik tajam yang biasa dilontarkan oleh kalangan mahasiswa maupun pers, hal ini menyebabkan keterbukaan atau kebebasan dalam menyuarakan menjadi harapan yang sangat riskan untuk dilakukan karena tindakan represif yang biasa dilakukan oleh pemerintah Soeharto pada saat itu.
            Penanaman modal asing begitu tidak terkendali hal tersebut untuk memulihkan keadaan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, ada hal yang tidak diperhatikan pemerintah ialah realita yang terjadi di masyarakat dan ini menjadi kerisauan bagi para mahasiswa salah satunya. Mahasiswa mengkritisi kebijakan Soeharto dalam bidang ekonomi yang tidak membawa perubahan bagi rakyat kecil, produk-produk dari luar negeri khususnya dari Jepang membanjiri pasar nasional sedangkan produk dalam negeri masih belum mempunyai tempat. Kritik mahasiswa disampaikan ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada tanggal 14-17 Januari 1947 dengan sebuah demonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah. Akan tetapi, mahasiswa gagal menerobos pagar karena dijaga ketat oleh petugas keamanan dan kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing di Indonesia. Klimaksnya, pada tanggal 15 Januari 1947 terjadi demonstrasi dan kerusuhan.
            Ada beberapa pandangan atau interpretasi dari terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa Malari 1974 bagi beberapa kalangan sebagai sebuah peristiwa penolakan mahasiswa terhadap penanaman modal asing, bagai kaum intelektual sebagai sebuah ketidaksenangan terhadap Asisten Pribadi Presiden (ASPRI) seperti Ali Moertopo, Soejono Humardani, dan lain-lain yang memiliki kekuatan terlalu besar. Dan ada juga kalangan yang memberikan pandangan bahwa Peristiwa Malari 1974 ini sebagai sebuah bentuk persaingan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.
            Setelah kejadian tersebut Soeharto langsung memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Pangkomkamtib, membubarkan ASPRI serta menangkap beberapa tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut seperti Sjahrir dan Hariman Siregar namun setelah diadili dua tokoh ini tidak terbukti bersalah. Bagi Presiden Soeharto peristiwa 15 Januari 1974 merupakan tamparan yang keras apalagi dihadapan seorang tamu negara, semenjak itu Presiden Soeharto sangat selektif memilij pembantunya dan memperketat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para mahasiswa dengan dikeluarkannya peraturan tentang NKK/BKK. Artinya, mahasiswa harus kembali ke kampus, benar-benar menjadi mahasiswa yang berbasis akademis tidak terjun ke politik praktis.
            Sampai saat ini belum pernah terungkap siapakah orang atau instansi yang bertanggung jawab atas pecahnya peristiwa 15 Januari 1974, menurut Asvi Warman Adam sebagian peristiwa pada masa Orde Baru termasuk Peristiwa Malari 1974, memang masih gelap. Dan kita sebagai generasi yang peduli akan sejarah bangsa kita bersyukur bahwa banyak informasi yang berkembang untuk membongkar manipulasi sejarah istilah yang dipakai sejarawan Asvi. Untuk menemukan titik terang peristiwa sejarah, walaupun peristiwa tersebut masih dalam ranah gelap maupun abu-abu.

Sumber bacaan:
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta Kompas
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar