Selasa, November 01, 2011

Hegemoni Golongan Karya: Menggenggam Negara


Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto memang menjadi salah satu pemimpin yang mempunyai segudang prestasi maupun kontroversi, banyak para pengamat politik maupun sejarawan yang melihat bahwa semasa Indonesia di bawah Soeharto sebenarnya ada salah satu elemen yang mentasbihkan kekuasaanya selain miliiter, yaitu Golongan Karya.
            Golongan Karya bagi sebagian tokoh-tokoh Golkar bukan merupakan sebuah partai politik. Namun, benarkah Golkar bukan merupakan sebuah partai politik? Kalau memang benar Golkar bukan sebuah partai politik, mengapa Golkar bertarung dalam sebuah pemilu untuk merebut sebuah kekuasaan untuk duduk di pemerintahan dan menanamkan hegemoninya? Menurut Lijphart (2000: 731)  “partai politik diartikan sebagai suatu organisasi yang berusaha memenangkan jabatan publik dalam suatu persaingan di daerah pemilihan dengan satu atau lebih organisasi serupa” (Supardan, 2007: 506). Lebih jauh Eep Saefulloh Fatah (2000: 192) mengungkapkan bahwa Golkar memiliki alasan yang kuat untuk menjadi sebuah partai politik, kriteria tersebut antara lain:
1)      Merupakan kumpulan individu
2)      Merupakan perkumpulan yang terorganisasi dengan definisi mengenai posisi, fungsi dan hierarki anggota yang jelas dan baku
3)      Ada ikatan identitas yang sama diantara anggotanya baik berupa ideologi maupun kepentingan
4)      Memiliki tujuan memperoleh kekuasaan politik dalam pemerintahan
5)      Ikut serta dalam pemilu untuk mencapai tujuannya.
            Sudah jelas bahwasannya Golongan Karya merupakan sebuah partai politik walaupun hal tersebut selalu diklaim oleh tokoh Golkar bahwa mereka tidak setuju bahwa Golkar partai politik. Walaupun begitu, Golkar sudah mulai menanamkan hegemoni kepartaian pada setiap partisipannya. Hegemoni Golkar sudah mulai ketika pemilihan umum 1971, dimana pada saat itu Soeharto dengan pemerintahan Orde Barunya yang dikenal dengan Orde Pembangunan ingin menata dengan tujuan pembangunan dalam kerangka stabilisasi politik dan stabilisasi ekonomi, artinya ketika Soeharto ingin menstabilkan kehidupan berpolitik hal pertama yang Soeharto dan Golkar lakukan ialah mengecilkan kekuatan partai politik lainnya, pada oktober 1966 Orde Baru merehabilitasi Partai Murba, dan didirikannya Partai Muslim Indonesia (Parmusi) pada 20 Februari 1968, selanjutnya ialah melemahkan partai dengan program fusi dimana PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan Murba difusikan menjadi satu partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 9 maret 1970. Sementara Parmusi, NU, PSII dan Perti difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 13 Maret 1970. Dengan program fusi untuk menjalankan rencana strategis yaitu mengamankan kekuasaan, maka secara tidak langsung Golkar telah menjalankan sebuah model manajemen politik - khusunya manjemen konflik politik, yaitu yang awalnya dilakukan pengkondisian kerja sama antarpartai, kemudian konfederasi, dan baru setelah itu fusi.
            Puncak dari legitimasi yang dibangun golongan karya ialah ketika pemilu 1971, dimana Golkar meraih kesuksesan yang luar biasa, kemenangan ini dipengaruhi juga dengan dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 1970 pada Februari 1970 Undang-Undang ini memiliki implikasi sangat besar karena para pegawai negeri harus menunjukkan loyalitasnya dengan menyalurkan aspirasi mereka melalui Golkar. Untuk menguatkan pengaruh Golkar, pemerintah dengan Soeharto sebagai motor penggerak Golkar mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1975 tentang pembatasan gerakan partai politik non-Golkar hanya sampai tingkat kecamatan.
            Pertarungan Golkar untuk memperoleh hegemoni terbukti pada pemilu 1971 dimana Golkar  memperoleh 62,8 suara, memenangkan 236 (65,6%) dari 360 kursi yang diperebutkan. PNI (6,9%), NU (18,7%) dengan komposisi tersebut maka secara otomatis negara dalam hegemoni Golongan Karya (Ricklefs, 2008: 585-586). Ada beberapa kondisi yang diciptakan untuk menanamkan hegemoni Golongan Karya yang dikomandoi Soeharto sebagai presiden, yaitu:
1)      Peran sosial politik militer dilegalisasi dengan kekuasaan yang besar untuk menjamin terciptanya stabilitas,
2)      Dilakukannya depolitisasi massa dengan alasan agar seluruh rakyat berkonsentrasi dan mengarahkan perhatiannya pada pembangunan ekonomi,
3)      Diperkenalkan kebijakan pembatasan peran partai-partai non-Golkar disertai rekayasa struktural dan kooptasi negara terhadap partai,
4)      Pemilihan umum dilakukan dengan manajemen yang mendukung bagi terjaminnya kelestarian hegemoni Golkar dan kelangsungan kekuasaan Golkar dalam pemerintahan,
5)      Partai-partai politik non-Golkar menghadapi persoalan-persoalan intern mereka berupa konflik antarunsur atau kepentingan. (Saefulloh Fatah, 2000: 196)
            Sebuah sejarah panjang kekuatan Golkar membuat kita tidak dapat dengan mudah mengaleniasikan kekuatan massa untuk memenangkan pemilihan umum, untuk tahun-tahun berikutnya selama Orde Baru Golkar selalu mendapatkan kemenangan, kemenangan untuk menggenggam negara.

Sumber bacaan:
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Saefulloh Fatah, Eep, 2000. Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru, Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Supardan, Dadang, 2007. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar