Jumat, Maret 11, 2011

Sistem Religi Dalam Masyarakat

Manusia adalah mahluk ciptaan tuhan yang diberikan akal, pikiran dan perasaan. Dengan adanya akal manusia bisa menciptakan suatu kebudayaan dan peradaban yang didalamnya menghasilkan suatu ilmu dan pengetahuan. Tapi ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Oleh karena itu, secara bersamaan muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem alam semesta ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian alam semesta. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Secara terminology, agama Religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religare (bahasa Latin) "menambatkan, adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Kamus Filosofi dan Agama mendefinisikan agama sebagai ”...sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”. Selain itu menurut Tylor bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal (Koentjaraningrat, 1980: 48).
Pertama, adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati. Manusia sadar bahwa ketika manusia hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut “jiwa”. Kedua, peristiwa mimpi, dimana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan di tempat ia sedang tidur). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yang disebut jiwa. Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya dengan roh (makhluk halus). Inilah yang menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesajian dan lain-lain (animisme).
Sistem religi adalah semua agama dari zaman tradisional sampai agama yang modern, tradisional seperti animisme, dinamisme, politheisme, dan henotisme, kemudian berlanjut sampai adanya agama samawi seperti Hindu, Islam, Kristen. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa atau emosi keagamaan, emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan mendorong manusia melakukan tindakan yang bersifat religi, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, tindakan, dan gagasan, mendapat suatu nilai keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu: (1). Sistem keyakinan, dalam rangka ini para antropolog biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun jahat, sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa, konsepsi tentang mahluk halus lainya seperti roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi), masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup dan mati, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lainnya. (2). Sistem upacara keagamaan, secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para antropolog ialah:
(a). Tempat upacara keagamaan dilakukan, aspek ini berhubungan dengan tempat-tempat keramat dimana upacara dilakukan, seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. (b). Saat upacara keagamaan dijalankan, adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. (c). Benda-benda dan alat-alat upacara, dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. (d). Orang yang melakukan dan memimpin upacara, yaitu pendeta, biksu, syaman, dukun dan lain-lain. (e). Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu: bersaji, berkorban, berdo’a, makan bersama (yang telah disucikan dengan do’a), menari tarian suci, nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius unutk mencapai keadaan trance, mabuk, bertapa, bersemedi.
Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan do’a. (3). Sistem umat yang menganut agama, bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain, hubungan dengan para pemimpin agama baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun dalam kehidupan sehai-hari, dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.
Menurut Koentjaraningrat, bagaimana kualitas hubungan vertikal antara manusia dan ‘Tuhannya’ dapat dilihat dari sisi sistem emosi keagamaannya, sistem keyakinan, sistem sosial umat yang menganutnya, dan upacara-upacaranya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba (1973:69-70) yang menyatakan bahwa selalu ada tiga ciri yang ditemukan pada setiap sistem religi: adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang kudus, melakukan hubungan dengan Yang Kudus itu dengan ritus, kultus, dan permohonan; dan ada doktrin tentang Yang Kudus.
Referensi:
Koentjraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Koentjaraningrat.1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia
Sajogyo, Pudjawati. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar